Belajar Mengampuni dari Yusuf

Belajar Mengampuni dari Yusuf
Belajar Mengampuni dari Yusuf

“Ketika saudara-saudara Yusuf melihat, bahwa ayah mereka telah mati, berkatalah mereka: “Boleh jadi Yusuf akan mendendam kita dan membalaskan sepenuhnya kepada kita segala kejahatan yang telah kita lakukan kepadanya.” Sebab itu mereka menyuruh menyampaikan pesan ini kepada Yusuf: “Sebelum ayahmu mati, ia telah berpesan: Beginilah harus kamu katakan kepada Yusuf: Ampunilah kiranya kesalahan saudara-saudaramu dan dosa mereka, sebab mereka telah berbuat jahat kepadamu. Maka sekarang, ampunilah kiranya kesalahan yang dibuat hamba-hamba Allah ayahmu.” Lalu menangislah Yusuf, ketika orang berkata demikian kepadanya. Juga saudara-saudaranya datang sendiri dan sujud di depannya serta berkata: “Kami datang untuk menjadi budakmu.” Tetapi Yusuf berkata kepada mereka: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” Demikianlah ia menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya” (Kejadian 50:15–21).

Yusuf mengalami perlakuan buruk dari saudara-saudaranya. Dia dibuang ke dalam sumur dan kemudian dijual sebagai budak sehingga Yusuf harus mengalami banyak penderitaan di Mesir. Sebagai manusia, kita mungkin berkata bahwa adalah normal jika Yusuf mengalami kepahitan dan kemudian bersumpah untuk membalas dendam. Namun, dari ayat-ayat di atas, kita membaca bahwa Yusuf malah mengampuni saudara-saudaranya dan menganggap semua peristiwa buruk yang dialaminya adalah kebaikan Tuhan.

Apa yang membuat Yusuf dapat mengampuni saudara-saudaranya dengan tulus? Inilah yang dipercayai Yusuf yang membuatnya dapat mengampuni saudara-saudaranya:

1. Dia percaya bahwa pembalasan adalah haknya Tuhan.

Tetapi Yusuf berkata kepada mereka: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Yusuf sadar posisinya sebagai manusia tidak berhak menghakimi dan membalas. Dia menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Sadarilah bahwa Tuhan lebih tahu bagaimana melakukan pembalasan, itu sebabnya serahkan pembalasan kepada Tuhan, karena Dia lebih bijaksana.

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan” (Roma 12:19).

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19–20).

2. Dia percaya bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia dan hidup bagi rencana-Nya (Roma 8:28).

Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. (Kejadian 50:20).

Yusuf tahu bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya adalah untuk kebaikan, bukan saja untuk memperlengkapi dirinya, tetapi juga mempersiapkan dia untuk menyelamatnya bangsanya.

Semua peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita telah dirancang Tuhan untuk membentuk dan memperlengkapi kita, bukan untuk memahitkan kita. Itu sebabnya, tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Semua kepahitan yang kita alami bertujuan untuk meremukkan hati kita agar cukup besar untuk ditaruh bangsa-bangsa. Kita bisa belajar dari kisah Yunus yang harus melewati berbagai peristiwa hingga dia bisa memenuhi panggilannya (Yunus 1:4–17; 2:1, 10; 4:1–11).

Jika yang memahitkan kita adalah orang luar atau orang yang tidak kita kenal, itu mungkin tidak terlalu memahitkan hati kita. Namun, sering kali peristiwa-peristiwa yang paling memahitkan datangnya dari orang-orang yang paling kita kasihi. Memang merekalah yang punya potensi atau peluang untuk paling menyakiti hati kita. Jadi kita harus belajar percaya bahwa orang tua, anak, saudara, jemaat adalah penentuan Tuhan dan pasti baik untuk kita, apa pun perlakuan buruk yang mungkin kita terima dari mereka.

Jadi berhati-hatilah agar tidak mengalami kepahitan, tetapi bukan berarti kita menghindari semua orang. Intinya, jika ada orang yang memahitkan kita, baik itu oleh orang terdekat maupun orang tidak dikenal, ampuni mereka dan serahkanlah semuanya kepada Tuhan serta percaya bahwa Dia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan.

Baca pula: Menjadi Pemimpin yang Menghormati Tuhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*