Tidak ada kebangkitan tanpa kematian, tidak ada kemuliaan tanpa salib (Matius 26:36-56). Jika kita ingin mengalami kebangkitan, kita harus melewati kematian. Jadi kita mati untuk hidup. Saat bangkit, kita tidak pernah bangkit sendirian. Kebangkitan kita akan membangkitkan orang-orang kudus yang lain dan setelah itu kita akan sama-sama menyatakan diri (Mat. 27:51-53).
Jadi prosesnya adalah: mati – bangkit – menyatakan diri. Jika tidak mati, kita tidak akan bangkit, jika tidak bangkit, kita tidak bisa menyatakan diri. Jadi kita harus mati agar bisa bangkit, dan kita harus bangkit agar bisa menyatakan diri. Mati untuk hidup.
“Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan
saat anak-anak Allah dinyatakan.” (Roma 8:19)
Beberapa prinsip tentang kematian daging:
1. Kita harus mati dari cara-cara dan respon yang manusiawi.
Sebagai manusia kita cenderung memunculkan cara dan respon yang manusiawi saat menghadapi masalah: Jika kita merasa lebih kuat kita akan memakai kekerasan (Mat. 26:51). Jika kita merasa lebih lemah kita akan melarikan diri dari masalah tsb. (Mat. 26:56b).
Di Taman Getsemani, Yesus sedang menghadapi masalah terberat dalam hidupnya, Dia akan menghadapi salib dan kematian. Hati-Nya sangat sedih dan gentar seperti mau mati rasanya. Tapi apa respon-Nya? Apa yang Dia lakukan? Dia berjuang dalam doa dan mencari kehendak Bapa!
Lalu setelah itu Dia melakukan kehendak Bapa yang Dia dapat dalam doa, walaupun Dia punya kekuatan untuk melawan tapi tidak melawan. Kita bisa mati dari cara dan respon yang manusiawi jika setiap kali menghadapi masalah kita membawanya dalam doa dan mencari kehendak Bapa, bukan segera meresponi dengan cara-cara manusiawi.
Banyak orang berpikir cara manusiawi lebih cepat dibanding cara Ilahi, tapi itu hanya kelihatannya saja. Perbandingannya sama seperti jalan mobil di darat dan jalan pesawat di udara. Kelihatannya jalan mobil di darat jauh lebih cepat dari pada jalan pesawat di udara, padahal sebenarnya tidak begitu. Walau pun jalan pesawat di udara “kelihatannya” sangat lambat, tapi pesawat akan lebih cepat sampai di tujuan. Jika kita ingin bangkit, kita harus mati dari cara-cara dan respon yang manusiawi.
2. Kita harus mati dari mencintai nyawa sendiri.
Orang yang tidak sabar berjuang dalam doa adalah orang yang mencintai nyawanya sendiri, karena ia tidak dapat menyangkal dirinya dan memikul salibnya (Mat. 10:34-39). Orang yang mencintai nyawanya akan cenderung mencari aman untuk dirinya sendiri, bukan mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33).
Orang-orang yang mencintai nyawanya tidak mau melewati jalan salib dan tidak mau mengalami kematian daging. Padahal untuk bisa berbuah banyak kita harus mati dari mencintai nyawa sendiri (Yoh. 12:24-25). Untuk mati dari mencintai nyawa sendiri kita harus memilih jalan salib.
3. Kita harus mati dari agenda pribadi (ayat 51-54 dan 56).
Yesus rela mati dari agenda pribadi-Nya demi untuk dapat menggenapi agenda Bapa. Ia berdoa, “Janganlah kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.” Banyak orang masuk dalam gereja dan pelayanan dengan membawa agenda pribadinya, itulah yang menyebabkan gereja jadi carut-marut dan jalan di tempat.
Jika ingin disertai Tuhan kita harus mati dari agenda pribadi dan bangkit untuk mewujudkan agenda Sorga, karena Tuhan hanya bertanggung jawab “menanda-tangani” agenda-Nya sendiri. Jika kita bekerja untuk mewujudkan agenda Sorga, niscaya seluruh resources Sorga akan dikerahkan untuk menyertai kita, agar seluruh agenda yang Ia cita-citakan bisa tercapai dan terwujud.
Itulah beberapa prinsip tentang kematian daging yang akan membuat kita mati untuk hidup. Ketika itu terjadi, maka kehidupan kita akan benar-benar membawa dampak yang besar seperti Yesus.
Simak pula: Hidup Dalam Kodrat Ilahi.