Kepercayaan yang Mengubah Kesedihan menjadi Sukacita

Kepercayaan yang Mengubah Kesedihan menjadi Sukacita
Kepercayaan yang Mengubah Kesedihan menjadi Sukacita

Saat itu Abram sedang sedih memikirkan kehidupannya yang tanpa anak (Kejadian 15:1-6). Tanpa terasa, waktu terus berjalan dan kini dia sudah berusia delapan puluhan tahun, sudah tua. Tiba-tiba, perlahan tapi pasti, ketakutan mulai datang dan mencengkeram hatinya, “Ah… apakah aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak?” bisiknya lirih dalam hati.

Dalam keadaan yang seperti inilah Tuhan datang kepada Abram dan berkata, “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.” (Kejadian 15:1)

Apa yang sedang berkecamuk dalam hati Abram sontak keluar tanpa diberi aba-aba, “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.” Lagi kata Abram: “Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku.” (ayat 2-3)

Tetapi Tuhan menjawab dengan sabar, “Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu” (ayat 4).

Mungkin Abram berpikir dalam hatinya, “Ah.. janji itu lagi. Itu sudah aku ketahui sejak bertahun-tahun yang lalu, tapi kenyataannya? Sampai sekarang aku belum punya anak.”

Bukankah seringkali kita mengalami apa yang Abram alami? Kita menerima janji Tuhan, tapi bertahun-tahun janji itu belum juga digenapi. Kita menjadi lelah menunggu, kita lelah beriman. Kita mulai kehilangan kepercayaan kita terhadap janji-Nya. Tapi entah mengapa, Tuhan seperti tahu keberadaan hati kita. Saat-saat seperti itu, seringkali Tuhan datang dan meneguhkan perjanjian-Nya. Seperti saat anda membaca artikel ini, mungkin ini adalah peneguhan Tuhan bagi anda. Tapi terkadang, walau pun Tuhan sudah meneguhkannya, kita tetap mengalami kesulitan untuk kembali bangkit mempercayainya.

“Jangan takut,” Tuhan pun tahu keadaan itu. Itu sebabnya kali ini Dia tidak sekedar berfirman untuk meneguhkan perjanjian-Nya, tapi Dia membawa Abram keluar untuk melihat bintang-bintang di langit dan mulai menghitungnya. Setelah “pemandangan” tentang bintang-bintang di langit itu terpatri kuat dalam ingatan Abram, Tuhan berfirman, “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu” (ayat 5).

Kepercayaan Abram mulai bangkit kembali, dan ia bisa melanjutkan perjalanan imannya sekarang. Dan Alkitab mencatat, Tuhan memperhitungkan kepercayaannya itu sebagai sebuah kebenaran.

Apa yang sebenarnya ingin Tuhan katakan dan ajarkan kepada Abram pada waktu itu dan kepada kita sekarang?

  1. Kesedihan dan ketakutan kita tidak pernah diperhitungkan sebagai kebenaran di hadapan Tuhan, betapa pun sedihnya kita. Yang diperhitungkan sebagai kebenaran adalah kepercayaan kita. Jadi dari pada sedih, lebih baik percaya. Gantikan kesedihan dan ketakutan dengan kepercayaan, maka apa pun keadaannya, kita adalah orang benar di hadapan Tuhan.
  2. Yang menyebabkan kita seringkali kehilangan kepercayaan terhadap janji Tuhan adalah karena janji itu belum terpatri kuat dalam ingatan kita.

Itu sebabnya setelah menerima janji Tuhan, kita harus memastikan janji itu terpatri kuat dalam ingatan kita agar tidak hilang kepercayaan kita. Janji itu harus disuntikkan terus-menerus dalam ingatan kita sampai mendarah-daging dalam pikiran kita dan berubah menjadi sebuah keyakinan yang tak akan tergoyahkan oleh apa pun dan siapa pun. Bagaimana caranya? Terus bayangkan janji itu terjadi dalam diri kita sampai seluruh pikiran, emosi, tindakan, dan keputusan kita dipengaruhi olehnya.

Doa saya, kepercayaan anda mulai bangkit kembali, sampai kesedihan berlalu dan digantikan dengan sukacita karena mempercayai janji Tuhan.

Jangan sedih, daripada sedih lebih baik percaya, maka kepercayaan yang mengubah kesedihan menjadi sukacita akan menjadi milik Anda!

Baca juga: Mengikuti Raja Sodom atau Raja Salem.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*