“Ada seorang laki-laki dari Ramataim-Zofim, dari pegunungan Efraim, namanya Elkana bin Yeroham bin Elihu bin Tohu bin Zuf, seorang Efraim. Orang ini mempunyai dua isteri: yang seorang bernama Hana dan yang lain bernama Penina; Penina mempunyai anak, tetapi Hana tidak. Orang itu dari tahun ke tahun pergi meninggalkan kotanya untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada TUHAN semesta alam di Silo. Pada suatu kali, … berdirilah Hana, dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu. Kemudian bernazarlah ia, katanya: “TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.” … Lalu keluarlah perempuan itu, ia mau makan dan mukanya tidak muram lagi. Keesokan harinya bangunlah mereka itu pagi-pagi, lalu sujud menyembah di hadapan TUHAN; kemudian pulanglah mereka ke rumahnya di Rama. Ketika Elkana bersetubuh dengan Hana, isterinya, TUHAN ingat kepadanya. Maka setahun kemudian mengandunglah Hana dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia menamai anak itu Samuel, sebab katanya: “Aku telah memintanya dari pada TUHAN.” (1 Samuel 1:1–20)
Dari tahun ke tahun, Hana selalu memiliki keinginan untuk mempunyai anak, dia terus-menerus datang ke hadapan Tuhan. Permasalahan terbesarnya adalah dia mandul. Bagi Hana, anak adalah kebutuhan dan keinginannya. Dari tahun ke tahun, Tuhan tidak menjawab doanya karena dia membawa kebutuhan dan keinginannya. Perhatikan, Tuhan tidak menjawab karena Tuhan punya maksud. Dalam doa-doanya, frekuensi doa Hana mengalami penyelarasan. Tuhan terus menyelaraskan frekuensi doa kita. Tuhan terus menyelaraskan kebutuhan dan keinginan kita dengan kebutuhan-Nya. Tuhan tidak bisa dipaksa oleh keinginan kita. Tuhan ingin kita mengerti kebutuhan-Nya.
Ketika ditanya apa yang sesungguhnya dia inginkan, Hana selalu menjawab, “Selamanya aku ingin anak, aku butuh anak.” Namun, akhirnya dia mulai menyadari mengapa Tuhan terus bertanya apa yang dia inginkan, artinya Tuhan mau supaya Hana mengerti keinginan Tuhan, seolah-olah ingin berkata “Aku tahu engkau punya kebutuhan, Aku tahu engkau punya keinginan, tetapi mengertikah kalau Aku juga punya kebutuhan, Aku juga punya keinginan?”
Hana mulai terbuka matanya dan mulai mencari tahu apa yang Tuhan butuhkan, apa yang Tuhan inginkan. Tuhan ingin seorang nabi, seorang imam dan keinginan Tuhan ini mulai diketahui oleh Hana. Tuhan mulai menyingkapkan di dalam doa sehingga pada akhirnya ketika kebutuhan Hana dipenuhi dengan keinginan Tuhan, maka keinginan Hana mulai mengalami penyelarasan. Keinginan Hana bukan lagi memenuhi kebutuhannya sekarang, tetapi keinginannya hanya memenuhi kebutuhan Tuhan yang menginginkan seorang nabi karena Imam Eli tidak berfungsi dengan benar sehingga pada waktu itu tidak ada firman yang disampaikan karena para pemimpin rohani tidak berfungsi; tidak ada firman, tidak ada penglihatan, tidak ada pernyataan Tuhan sehingga jemaat atau umat Tuhan hidup dalam kekalahan demi kekalahan, karena Tuhan tidak berfirman dan kemuliaan-Nya tidak dinyatakan.
Jika kita mau memenuhi kebutuhan dan keinginan Tuhan, kita perlu Tuhan karena hanya Dia yang mampu melahirkan apa yang diinginkan-Nya dan mampu memenuhi apa yang kita butuhkan. Namun, Tuhan butuh alat, Dia butuh mediator yang bisa dipakai untuk ‘melahirkan.’ Melahirkan siapa? Melahirkan seorang pemimpin yang bisa menyampaikan suara Tuhan, seorang pemimpin yang bisa memanifestasikan pekerjaan-Nya.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Kita harus berdoa kepada Tuhan dan menyerahkan seluruh hasil doa kita kepada Tuhan sehingga segala sesuatu yang kita terima berasal dari Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memenuhi kebutuhan kita, tetapi kita pun memenuhi kebutuhan Tuhan dengan doa kita. Hasil dari doa kita yang pertama dan terutama adalah untuk memenuhi kebutuhan Tuhan. Terjadi pertukaran dalam doa. Bukan hanya Tuhan yang memberi, tetapi kita pun bisa memberi kepada Tuhan. Jika hasil doa kita berasal dari Tuhan, maka hasil doa kita dapat dinikmati oleh orang lain. Kita tidak lagi berjuang untuk keinginan dan kebutuhan kita. Kiranya Tuhan membawa kita kepada Getsemani kita, di mana Tuhan bisa menyingkapkan apa yang Tuhan butuhkan.
Baca pula: Kehidupan Kekristenan yang Sesungguhnya.